Wisata Budaya Larung Sesaji
Larung Sesaji Selalu Dipadati Warga - Upacara
Tradisional Larung Sesaji di Pantai Tambakrejo dilaksanakan setiap
tanggal 1 Muharram atau tahun baru Islam. Dalam tahun Jawa disebut
sebagai Satu Suro.
Acara Larung Sesaji di Pantai Tambakrejo penuh nuansa spiritual ini merupakan refleksi rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Pemurah, yang telah melimpahkan hasil bumi bagi masyarakat Blitar, khususnya masyarakat nelayan setempat.
Persembahan yang dilarung ke Samudera Indonesia (orang Blitar menyebutnya Laut Selatan) melalui upacara adat ini adalah berbagai macam hasil bumi dan binatang ternak yang disembelih.
Bupati Blitar bertindak selaku pemimpin upacara, didampingi para pejabat dai; tetua adat setempat. Tradisi larung sesaji ini tidak hanya di Pantai Tambakrejo, melainkan juga dilaksanakan secara serentak di pantai-pantai selatan lainnya.
Setiap melaksanakan ucapara Larung Sesaji, selalu dibacakan kembali sejarah Pantai Tambakrejo. Dikisahkan, kawasan pantai tersebut merupakan hutan belantara yang lebat. Cikal bakal (perintis/pendahulu) permukiman di tempat itu diawali datangnya seorang pelarian perang zaman penjajahan Belanda.
Pelarian itu adalah prajurit laskar Pangeran Diponegoro, bernama Ki Atmo Wijoyo. Sejak Pangeran Diponegoro diperdaya Jendral De Kock dalam perundingan penuh rekayasa, anak buahnya langsung bercerai-berai. Beberapa di antaranya melanjutkan perang gerilya, namun banyak pula yang kembali hidup di tengah masyarakat. Ki Atmo Wijoyo berusaha bertahan hidup di tempat yangjauh dari pertempuran, di hutan tepi pantai.
Di hutan itu, Ki Atmo Wijoyo melepas baju keprajuritannya dan bersatu dengan alam. Untuk mempertahankan hidupnya, ia memanfaatkan segala sesuatu yang berada di sekelilingnya. Berada di persembunyian asing ini, ia tidak hanya berhadapan dengan tantangan alam berupa lapar, dahaga, dan gangguan binatang buas, tetapi juga gangguan makhluk halus. Tetapi Ki Atmo Wijoyo mampu mengatasinya.
Kunci keberhasilan Ki Atmo Wijoyo mengalahkan tantangan-tantangan itu dengan kekuatan lahir dan batin. Sebagai seorang prajurit Diponegoro, ia memiliki kemampuan kanuragan yang prima. Sedangkan secara psikis, ia memiliki ilmu batin dan tenaga dalam yang linuwih, hebat.
Ia mampu menjalin komunikasi dengan lingkungan barunya. Tidak hanya itu, ia juga berhasil membina hubungan dengan masyarakat di luar hutan. Hingga akhirnya, banyak yang tertarik ke pantai yang dibuka Ki Atmo Wijoyo.
Jika kemudian masyarakat Pantai Tambakrejo memperoleh kemakmuran seperti sekarang ini, orang tidak melupakan jasa Ki Atmo Wijoyo. Untuk menunjukkan rasa syukur, dipilih suatu cara berupa persembahan yang dikirim ke laut.
Pengorbanan memang diperlukan, sebagai bagian dari keinginan untuk memeapai harapan yang lebih besar, berupa kemakmuran. Tuhan diminta selalu menurunkan nikmat dan karunia-Nya melalui hasil bumi dan laut yang menghidupi mereka.
Dengan banyaknya tempat-tempat wisata di Kabupaten Blitar, Dinas Informasi Publik dan Pariwisata tidak hanya promosi saja, tetapi juga selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas dan melaksanakan pembenahan-pembenahan demi kesempurnaan.
klik disini
Acara Larung Sesaji di Pantai Tambakrejo penuh nuansa spiritual ini merupakan refleksi rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Pemurah, yang telah melimpahkan hasil bumi bagi masyarakat Blitar, khususnya masyarakat nelayan setempat.
Persembahan yang dilarung ke Samudera Indonesia (orang Blitar menyebutnya Laut Selatan) melalui upacara adat ini adalah berbagai macam hasil bumi dan binatang ternak yang disembelih.
Bupati Blitar bertindak selaku pemimpin upacara, didampingi para pejabat dai; tetua adat setempat. Tradisi larung sesaji ini tidak hanya di Pantai Tambakrejo, melainkan juga dilaksanakan secara serentak di pantai-pantai selatan lainnya.
Setiap melaksanakan ucapara Larung Sesaji, selalu dibacakan kembali sejarah Pantai Tambakrejo. Dikisahkan, kawasan pantai tersebut merupakan hutan belantara yang lebat. Cikal bakal (perintis/pendahulu) permukiman di tempat itu diawali datangnya seorang pelarian perang zaman penjajahan Belanda.
Pelarian itu adalah prajurit laskar Pangeran Diponegoro, bernama Ki Atmo Wijoyo. Sejak Pangeran Diponegoro diperdaya Jendral De Kock dalam perundingan penuh rekayasa, anak buahnya langsung bercerai-berai. Beberapa di antaranya melanjutkan perang gerilya, namun banyak pula yang kembali hidup di tengah masyarakat. Ki Atmo Wijoyo berusaha bertahan hidup di tempat yangjauh dari pertempuran, di hutan tepi pantai.
Di hutan itu, Ki Atmo Wijoyo melepas baju keprajuritannya dan bersatu dengan alam. Untuk mempertahankan hidupnya, ia memanfaatkan segala sesuatu yang berada di sekelilingnya. Berada di persembunyian asing ini, ia tidak hanya berhadapan dengan tantangan alam berupa lapar, dahaga, dan gangguan binatang buas, tetapi juga gangguan makhluk halus. Tetapi Ki Atmo Wijoyo mampu mengatasinya.
Kunci keberhasilan Ki Atmo Wijoyo mengalahkan tantangan-tantangan itu dengan kekuatan lahir dan batin. Sebagai seorang prajurit Diponegoro, ia memiliki kemampuan kanuragan yang prima. Sedangkan secara psikis, ia memiliki ilmu batin dan tenaga dalam yang linuwih, hebat.
Ia mampu menjalin komunikasi dengan lingkungan barunya. Tidak hanya itu, ia juga berhasil membina hubungan dengan masyarakat di luar hutan. Hingga akhirnya, banyak yang tertarik ke pantai yang dibuka Ki Atmo Wijoyo.
Jika kemudian masyarakat Pantai Tambakrejo memperoleh kemakmuran seperti sekarang ini, orang tidak melupakan jasa Ki Atmo Wijoyo. Untuk menunjukkan rasa syukur, dipilih suatu cara berupa persembahan yang dikirim ke laut.
Pengorbanan memang diperlukan, sebagai bagian dari keinginan untuk memeapai harapan yang lebih besar, berupa kemakmuran. Tuhan diminta selalu menurunkan nikmat dan karunia-Nya melalui hasil bumi dan laut yang menghidupi mereka.
Dengan banyaknya tempat-tempat wisata di Kabupaten Blitar, Dinas Informasi Publik dan Pariwisata tidak hanya promosi saja, tetapi juga selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas dan melaksanakan pembenahan-pembenahan demi kesempurnaan.
klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar